081-2173-3281 redaksi@haidiva.com

Wisata Jantung Kota Surabaya, di Darmo Bukan Cuma Bungkul Aja!

Wisata Jantung Kota Surabaya, di Darmo Bukan Cuma Bungkul Aja!

Tak Banyak yang Tahu Markas Teosofi ada di Pusat Kota

Haidiva.comRek ayo rek mlaku-mlaku nang Tunjungan, Rek ayo rek rame-rame bebarengan. Dari lagu khas asal Surabaya ini, menggambarkan  ajakan semua orang untuk bersantai, jalan-jalan, dan berwisata. Tak ayal jika Surabaya yang dijuluki kota pahlawan ini menyimpan segudang wisata sejarah yang menarik untuk dipelesiri.

Seperti Jalan Raya Darmo yang mempunyai magnet tersendiri. Jalan yang menjadi landmark kota ini menghubungkan wilayah selatan dan utara Surabaya. Disekitar Jalan ini bisa kita jumpai baik bangunan lama maupun baru. Sebagai jujukan tempat wisata di pusat kota, Taman Bungkul merupakan primadonanya.

Taman Bungkul memang tak hanya menarik minat warga sekitar, tapi juga warga luar Surabaya. Dengan berbagai fasilitas, Taman Bungkul menjadi ruang terbuka hijau favorit masyarakat. Bahkan Taman yang pernah meraih penghargaan sebagai Taman Terbaik se-Asia Tahun 2013 “The 2013 Asian Townscape Award” (ATA) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dijuluki sebagai oasisnya Kota Surabaya karena lokasinya yang strategis.

Namun ditengah hiruk pikuk Jalan Darmo yang sibuk, lalu lalang di sepanjang Taman Bungkul, ada salah satu bangunan lama yang mencuri perhatian di sekitar Raya Darmo. Lokasinya tidak jauh dari Bungkul.

Bangunan bergaya kolonial ini bernama Sanggar Penerangan yang masih satu lokasi dengan Gereja Katolik Bebas St. Bonifacius, tepatnya di Jalan Serayu No 11 Surabaya. Meski di depan bangunan terdapat ilalang yang cukup tinggi, faktanya bangunan tersebut hingga kini masih aktif digunakan untuk ruang diskusi lintas agama.

Untuk mengenal lebih dalam sejarah dari Sanggar Penerangan ini, warga Surabaya maupun wisatawan luar bisa menggunakan jasa tur. Seperti yang ditawarkan Surabaya Walking Tour, pegiat tur di Kota Surabaya yang memandu tempat-tempat wisata bersejarah. Dan Sanggar Penerangan ini juga menjadi salah satu destinasi dari Surabaya Walking Tour yang menarik untuk diulik.

Kala itu Haidiva berkesempatan bersama rombongan Surabaya Walking Tour yang dipandu oleh Mozes Adiguna, disambut ramah oleh anggota Sanggar  Penerangan, Gunarya. Gun, panggilan akrabnya, mengatakan jika sanggar ini selalu terbuka untuk semua kalangan.

Bangunan yang sudah ada sejak tahun 1923 ini memiliki keterhubungan dengan perkembangan teosofi di Jawa Timur. Memang tak banyak orang yang tahu tempat perkumpulan ini, meskipun berada di Jantung Kota Surabaya. Biasanya perkumpulan ini bertemu di sanggar setiap dua minggu sekali untuk bertukar pikiran, terkait teosofi sendiri yang lekat dengan kajian science dan ilmu filsafat.

Jika dilihat dari depan tampak fasat depan bangunan ada papan yang bertuliskan Sanggar Penerangan. Menelusuri dalam bangunan terdapat sebuah lonceng, cawan, dan botol pasir. Ada juga sebuah lambang berbentuk ular melingkar yang di dalamnya ada bintang daud dan simbol manusia mesir kuno, dibawahnya terdapat tulisan Satyan Nasti Paro Dharmah.

Untuk menuju belakang bangunan, pengunjung pun harus melewati jalanan setapak yang melewati lorong. Sesampainya di halaman belakang sanggar, pengunjung disuguhkan pemandangan batu bertuliskan Leadbeater.

Ajaran teosofi sendiri dibentuk di Amerika Serikat oleh Helena Blavatsky, seorang pendatang Rusia pada tahun 1875. Sejarah mencatat pada tahun 1912 perkumpulan teosofi Belanda mengadakan Kongres di Batavia, hal itu pun menyebar di beberapa daerah, salah satunya Surabaya. Hingga kini anggota teosofi di Surabaya bisa dihitung jari, yang memang tak sebanyak zaman Orde Baru. Minimnya anggota, bisa dikatakan ini adalah kumpulan teosofi terakhir.

Ngopi Pagi di Bangunan Cagar Budaya

Meninggalkan bangunan sejarah Sanggar Penerangan yang tetap eksis hingga saat ini, untuk wisatawan yang ingin kulineran dengan nuansa kolonial juga ada di kawasan Raya Darmo. Café satu ini bisa jadi rekomendasi hidden gem para pecinta kopi.

Terletak di Jalan Trunojoyo No 69 Surabaya, tempat bernamakan Coffee at Louis ini memang menyajikan kopi sebagai menu utama. Sedikit berbeda dengan coffee shop pada umumnya, tempat ini sudah buka tepat pukul 07.00 pagi karena menyasar segmentasi pekerja.

Hal itu dikarenakan pemilik café ini adalah seorang pria asal Australia bernama Liam yang menikahi perempuan asal Indonesia. Haidiva pernah berkesempatan untuk berbincang langsung dengan Liam. Ia mengatakan jika ingin membawa budaya negaranya, yakni orang Australia biasa minum kopi dahulu sebelum berangkat bekerja.

Untuk menu yang menjadi best seller adalah single origin Tanzania dan Hot Cappuccino. Kopi disini memang disangrai sendiri sehingga menyajikan cita rasa yang lebih enak dan aroma kuat. Sedangkan suasana café, tak perlu diragukan lagi. Café dengan bangunan kolonial ini sangat homey. Ruangan café yang berkonsep clean, dengan ornamen-ornamen kayu, sekaligus tanaman-tanaman di sekitar café tersebut membuat pengunjung semakin betah.

Cagar Budaya di Raya Darmo, Baru Sadar Tiap Rumah Ada Nama Pemilik Jaman Kolonial

Uniknya saat bertemu Liam, pemilik café ini mengatakan jika nama Coffee at Louis memang bukan tanpa sebab. Karena menurutnya saat ia membeli rumah yang kini disulap sebagai coffee shop tersebut, ada tulisan Louis di atas pintu rumah. Liam menyampaikan jika pemilik rumah terdahulu bernama Louis. Bahkan ditambahkan dirinya, jika ada beberapa rumah sekitar yang juga memiliki tulisan di depan fasat rumah, seperti yang ia ingat ada rumah arsitektur Belanda yang bertuliskan Micky.

Spread the love