081-2173-3281 redaksi@haidiva.com

Tonggak Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia

Tonggak Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia

Haidiva.com- Tanggal 8 Maret kemarin diperingati sebagai hari perempuan internasional. Sejumlah aktivis perempuan dari dalam dan luar negeri merayakannya dengan mendorong kebijakan publik ramah gender. Namun nyatanya, sejarah gerakan perempuan di Indonesia tak hanya terpaku pada perayaan internasional.

Berikut ini, Haidiva membuat milestone alias tonggak sejarah gerakan perempuan di Indonesia sejak zaman kolonial.

Muncul dari Politik Etis

RA Kartini

Di awal Abad 20, kelompok liberal di Belanda menuntut pemerintahannya memberikan pendidikan yang layak kepada daerah jajahannya, tak terbatas laki-laki dan perempuan. Alhasil, banyak berdiri sekolah untuk perempuan. Kebutuhan perempuan terdidik diperlukan untuk membantu pencatatan atau administrasi di daerah perkebunan.

Era ini kemudian memunculkan sejumlah aktivis perempuan yang meminta kesetaraan di tahun 1900-an seperti RA Kartini, Dewi Sartika dan lain sebagainya. Kemampuan membaca dan menulis membuat mereka lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan baru, sampai saling berjejaring satu sama lain.

Baca: Hari Ibu dan Konstruksi Domestikasi Perempuan

Kolaborasi Melalalui Konferensi

Kongres Perempuan Indonesia

Soempah Pemuda nyatanya mendorong para aktivis perempuan yang sudah ada untuk saling berkoneksi satu sama lain. Seorang wartawan perempuan bernama Siti Soendari sempat berpidato di Kongres Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Setelahnya, ia mengajak aktivis perempuan lain berkumpul dan menggelar Kongres Perempuan I pada 22 Desember 1928. Inilah cikal bakal peringatan Hari Ibu.

Dalam kongres tersebut, topik yang dibicarakan mulai dari perlawanan terhadap pernikahan dini, hak bercerai, poligami, hingga kekerasan terhadap perempuan. Hingga pada Kongres Perempuan III, Juli 1938, para aktivis perempuan ini menuntut isu tentang hak dipilih di pemilihan umum. Langkah yang cukup progesif meski Indonesia belum merdeka sepenuhnya. Gerakan ini berlanjut hingga era tahun 1960-an.

Mundur di Pertengahan 1960-an

Dharma Wanita

Sejumlah surat kabar terbitan Angkatan Bersenjata mengkampanyekan bahwa aktivis Gerakan Wanita Indonesia membunuh tujuh jenderal secara sadis. Kampanye itu telah dibongkar oleh seorang peneliti Belanda, Saskia Wieringa (1995) sebagai kebohongan belaka. Ia menemukan visum et repertum kondisi tujuh jenderal tersebut mati dalam keadaan ditembak tanpa luka siletan ataupun pencungkilan mata.

Meski demikian, kampanye ini membuat gerakan perempuan mundur diganti dengan memposisikan perempuan di belakang yang mendukung suami. Misalnya seperti Dharma Wanita untuk istri PNS, Dharma Pertiwi untuk istri ABRI. Era ini kembali pada pandangan lama yang merumahkan perempuan.

Baca: Pendapat Komnas Perempuan tentang Eksploitasi Buruh Aice

Awal Mula Women Crisis Centre

Women Crisis Centre

Situasi yang represif di Orde Baru lama kelamaan memunculkan pusat krisis perempuan di awal 1980-an. Awalnya, gerakan perempuan seperti Kalyana Mitra (Jakarta), Rifka Annisa (Yogyakarta), Samitra Abhaya (Surabaya) dan lain sebagainya muncul untuk mengadvokasi buruh perempuan. Buruh perempuan dianggap kelompok yang tertindas oleh pemilik modal di tempat kerja.

Namun sewaktu pulang, mereka masih menemui beban ganda rumah tangga.  Sistem patriarki menyebabkan buruh perempuan harus mengerjakan seluruh urusan rumah tangga. Sementara mayoritas gaji mereka yang murah disebabkan karena perempuan dianggap hanya sekadar membantu pasangan sehingga buruh perempuan mendapat upah murah.

Kesadaran Politik

Perempuan di DPR

Pasca-reformasi, gerakan perempuan masuk pada ranah politik dengan memperjuangkan afirmatif 30 persen di parlemen. Di bidang HAM, negara semakin mengakui masalah perempuan yang rentan mengalami kekerasan, beban ganda, pelecehan dengan dibentuknya Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Era ini, isu pengarus utamaan gender disuarakan agar perempuan mendapatkan hak yang setara di bidang politik, sosial, dan ekonomi.

Baca: Gerakan Perempuan Indonesia Jaga Lingkungan

Sekarang, Perempuan dan Lingkungan

Women’s March

Di zaman sekarang seiring dengan tumbuhnya industri yang merusak lingkungan, gerakan perempuan kian sadar bahwa korban paling pertama adalah kelompok ibu. Kerusakan alam menyebabkan kebutuhan dasar seperti air bersih dan sumber pangan untuk keluarga semakin menipis.

Di satu sisi, adanya patriarki masih membebankan kebutuhan dasar keluarga pada perempuan. Alhasil, mulai menjamurlah gerakan perempuan yang menentang industri perusak lingkungan. Gerakan ini disebut sebagai ekofeminisme. 

Tapi lingkungan yang dimaksud tak hanya terkait alam tetpai juga untuk perempuan lain yang mengalami kekerasan dan penindasan. Munculnya gerakan me-too membuat perempuan saling menguatkan dan lebih berani bila mengalami pelecehan. Perlawanan terhadap rape culture, victim blaming semakin digalakkan.**

Baca: Diam, Bukan Berarti Korban Perkosaan Menikmati

Spread the love

3 thoughts on “Tonggak Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia

  1. Perempuan dalam Perjuangan Melestarikan Ibu Pertiwi
    Mei 4, 2020 at 12:17 pm

    […] Baca: Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia […]

  2. Perempuan Tangguh Di Tengah Sumpah Pemuda
    Oktober 28, 2020 at 9:39 am

    […] Poernomowoelan jadi pembicara pertama di Kongres Pemuda II setelah dua pembicara utama lain yakni Ki Hajar Dewantara dan Jokosarwono berhalangan hadir. Ia berpidato bahwa anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan da dididik secra demokratis. Anak juga mesti mendapatkan pendidikan yang baik, di rumah maupun sekolah.Baca juga: Tonggak Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia […]

  3. Ketahui Sejarah Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan
    November 30, 2021 at 3:31 pm

    […] Baca juga: Tonggak sejarah gerakan perempuan Indonesia […]

Comments are closed.