081-2173-3281 redaksi@haidiva.com

Review Film On The Basis of Sex, Perjuangan Perempuan Lawan Diskriminasi Gender

Review Film On The Basis of Sex, Perjuangan Perempuan Lawan Diskriminasi Gender

Haidiva.com-Ngapain sekolah tinggi-tinggi, toh tugasmu nanti cuma seputaran dapur dan kasur!”

Kita sering kali menerima hardikkan dari orang-orang, bahkan mungkin kerabat terdekat, saat memilih mengejar cita-cita pendidikan maupun karier. Bagi sebagian orang, tugas perempuan yang utama hanyalah pendamping laki-laki dan harus merelakan semua impian ketika masuk ke jenjang pernikahan. Seolah-olah kita dianggap sebagai manusia kelas kedua, tidak penting dan tidak perlu untuk menjadi penting.

Tak hanya terjadi di dalam negeri, hardikan bagi perempuan yang memilih pendidikan dan karier dibanding pernikahan juga pernag terjadi di Amerika tahun 1950-an. Bahkan di kampus sekelas Universitas Harvard. Kalau di Indonesia banyak yang terang-terangan melarang perempuan berpendidikan tinggi, di sana para perempuan mendapatkan perlakuan diskriminatif. Premis inilah yang diangkat dalam film ‘On The Basis of Sex’ yang diluncurkan tahun 2018.

Baca juga: Film Komedi Romantis untuk Perempuan Usia 30-an

Film On The Basis of Sex menceritakan kisah kehidupan tokoh nyata Ruth Bader (Felicity Jones), seorang Hakim Agung sekaligus mahasiswa lulusan Universitas Harvard. Sebelum menjadi seorang Hakim Agung, Ruth Bader harus mengalami jalan terjal yang luar biasa. Ruth dituntut menjalani kehidupan yang keras dan diskriminatif sebagai seorang ibu maupun istri yang dianggap pembangkang karena mendobrak tradisi.

Masa muda Ruth Bader sangat penuh perjuangan. Ruth harus berpindah dari kampus satu ke kampus lain karena tidak ada yang mau menerimanya sebagai mahasiswa hukum. Padahal, Ruth Bader adalah sosok yang cerdas dan berkapasitas tapi budaya dan masyarakat masa itu tidak berpihak pada perempuan dan malah dianggap orang yang mursal. Perempuan yang cerdas, mandiri, independen ditolak keberadaannya karena kostruksi budaya menganggap mereka tak perlu ada.

Tapi Ruth Bader tak menyerah karena mental dan komitmennya tinggi. Ruth juga memiliki suami yang sangat egaliter. Martin Ginsburg (Armie Hammer), seorang pengacara dan ahli hukum pajak. Tak seperti suami lain yang kasar dan otoriter, Martin sangat demokratis, enak diajak diskusi, dan menghargai pilihan istrinya. Martin tak segan berganti peran untuk mengurus anak, membersihkan rumah bersama tanpa merasa egonya direndahkan oleh Ruth Bader. Martin bangga memperistri Ruth yang cerdas dan independen.

Ruth Bader di masa mudanya adalah salah satu dari sembilan perempuan yang berhasil masuk sekolah hukum Harvard. Ini adalah tahun keenam bagi Harvard “mengizinkan” perempuan untuk belajar di sana. Tak hanya sekolah saja yang diskriminatif, hukum yang dibuat pun pada dasarnya tidak adil gender.

Pada masa itu, hukum diciptakan hanya untuk menguntungkan laki-laki. Hukum tidak memberikan keleluasaan untuk perempuan, terutama meraih pendidikan dan kesejahteraan. Karna kondisi yang tidak memungkinkan itu, akhirnya Ruth harus memutar otak. Dia memahami kampusnya tempat ia meraih pendidikan ini sangat seksis dan diskriminatif. Apalagi setelah acara perjamuan mahasiswa baru, banyak rekan-rekannya mahasiswa perempuan yang dipermalukan dengan pertanyaan-pertanyaan konyol yang tidak berhubungan dengan pendidikan.

Ruth yang cerdas akhirnya mencari cara bagaimana ia tetap dapat berkuliah di sana tanpa harus diremehkan. Akhirnya Ruth menjawab kompromis bahwa suaminya adalah pengacara dan ahli hukum pajak. Jadi Ruth mengikuti suaminya bersekolah di Harvard dan tentunya agar dia bisa memahami dan mengimbangi pemikiran suaminya tentang hukum. Nyatanya, alasan ini lebih diterima daripada alasan-alasan lain.

Tak hanya diskriminasi gender terhadap perempuan, perlakuan tak berbeda terhadap laki-laki juga dibahas di film ini saat Ruth Bader terpilih untuk menjadi pengacara bujangan tua yang merawat ibunya. Hukum yang diskriminatif gender saat itu tidak mengizinkan pemotongan/pengurangan pajak bagi laki-laki yang tidak menikah dan merawat lansia. Menurut hukum, perempuan saja yang boleh dikurangi pajaknya. Dengan cerdas, Ruth menjadikan kasus ini sebagai celah menunjukkan kepada dunia betapa berbahayanya diskriminasi atas dasar jenis kelamin saja.

Arahan sutradara perempuan Mimi Leder yang kembali pasca absen 18 tahun dari layar lebar patut diacungi jempol. Performa Felicity Jones berhasil menampar penonton bahwa di negara yang mengaku paling demokratris ini pernah menahan kemerdekaan perempuan di pendidikan dan hukum lebih dari 200 tahun setelah proklamasi 1776. Tak heran, meski bukanlah film popcorn, On the Basis of Sex bisa untung dan menutupi biaya pembuatan.  

Penulis: Sastra Ayu, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia

Spread the love

One thought on “Review Film On The Basis of Sex, Perjuangan Perempuan Lawan Diskriminasi Gender

  1. Content Every Think #1: Persepsi Gender dalam Dunia Profesional
    Oktober 23, 2023 at 2:56 pm

    […] Baca juga: Review film on the basis of sex […]

Comments are closed.