Haidiva.com- “Kita harus membuat sejarah. Kita mesti menentukan masa depan yang sesuai dengan keperluan sebagai kaum perempuan dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti kaum laki-laki.”
Itulah salah satu perkataan Raden Ajeng Kartini, sang pejuang emansipasi perempuan yang masih selalu dikenang oleh kaum hawa dalam ranah pendidikan. Hasil perjuangannya telah diwarisi dan masih berjalan bagai air di kesibukan masyarakat.
Seperti yang kita ketahui bahwa emansipasi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kiat-kiat untuk mendapatkan persamaan dalam konteks secara global, mulai dari kesetaraan gender, hak politik ataupun dalam bidang lainnya. Sedangkan emansipasi perempuan adalah suatu proses memisahkan diri para perempuan dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau membatasi seorang perempuan untuk berkembang maju di segala bidang dalam kehidupan masyarakat.
Dalam konteks gender, pemenuhan hak bagi perempuan selalu menjadi problema yang cukup serius. Politik, ekonomi, kebudayaan, dan sosial sering kali memposisikannya sebagai entitas yang direndahkan. Meski pencapaian prestasi dan penggerak kemajuan, mayoritas telah dilakoni oleh perempuan.
Walau telah banyak kemajuan yang dicapai, berjalannya peradaban manusia, perempuan tetap diperlakukan secara tak adil. Hal ini justru bertolak belakang dengan semangat demokrasi yang mengakui keberadaan masyarakat tanpa mengenal istilah perbedaan gender.
Dalam sudut pandang secara global, potensi intelektual kaum perempuan masih belum diakui secemerlang dan semaju kaum laki-laki. Mereka masih dipandang sebagai mahluk Tuhan yang akalnya separuh laki-laki. Meskipun dalam realitanya, banyak perempuan yang berkontribusi lebih di ajang apapun dan berhasil menciptaka anak bangsa yang cemerlang.
El Saadawi mengatakan bahwa kaum perempuan tidak akan bebas dari sistem patriaki, kecuali mereka sendiri yang mengubah dan berusaha menjunjung tinggi martabatnya dalam bingkai modernisasi. Seorang pemikiran anarkhi Emma Goldman juga mengatakan bahwa seorang perempuan akan merosot dari segi kepribadiannya sebelum ia memahami makna emansiasi dengan sepenuhnya.
Berbicara mengenai emansipasi perempuan di Indonesia, sosok R.A Kartini seorang perempuan priyayi jawa yang mempunyai ideologi untuk maju pada masanya. Ideologi keinginan untuk maju tersebut diekspresikan dalam bentuk tulisan rinci berjudul, “Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Tujuan R.A Kartini membuat tulisan seperti itu agar perempuan bisa mendapatkan kekuasaan atas pendidikan yang seluas-luasnya. Sejarah yang masih terngiang dalam kepala adalah tentang pristiwa yang terjadi pada masa lalu, bahwa yang berhak menerima pendidikan hanyalah anak dari keturunan bangsawan. Hal itupun juga tetap dibatasi bahwa yang berhak menerima pendidikan tinggi adalah anak bangsawan yang berjenis kelamin laki-laki. Sehingga anak perempuan jelata di nusantara sangat jauh dari akses pendidikan.
Emansipasi yang digagas oleh R.A Kartini berharap agar perempuan diakui kecerdasannya dan diberikan kesempatan yang sama untuk mengaplikasikan keilmuan yang dimilikinya. Perempuan tidak perlu merendahkan diri atau tidak selalu direndahkan oleh kaum laki-laki sehingga bisa bersaing sesuai keahlian yang dikuasi.
Kondisi perempuan saat ini sangat jauh berbeda dengan masa lalu yang selalu dibatasi. Di era kontemporer saat ini, perempuan telah merasakan kebebasan atas hak-hak yang diperjuangkan. Meski ada pula sebagian perempuan yang tidak menggunakan peluang ini secara bijak, yakni dengan melepas kesempatan atau sebaliknya hanya dijadikan kedok untuk bebas.
Contoh nyatanya adalah sebagian kaum perempuan dengan hak kebebasan politiknya malah digunakan untuk korupsi. Beberapa perempuan dengan hak ekonominya malah menerapkan perbudakan modern berupa upah murah atau panjangnya jam lembur tanpa ganti. Perilaku demikian bisa diartikan bahwa kebebasan terhadap perempuan malah menghancurkan derajat para perempuan. Emansipasi yang telah diberikan oleh R.A Kartini bergeser jauh dari makna dan tujuannya.
Globalisasi pada masa sekarang sudah tak bisa dipungkiri lagi tentang pergesaran budaya yang masuk pada Indonesia. Konteksnya pun berbeda-beda mulai dari segi moral, kebiasaan dan lain-lain, hal itu telah banyak berpengaruh pada Indonesia sendiri terutamanya bagi kaum perempuan. Tak hanya laki-laki, kaum perempuan juga digiring kearah hedonis, sendiri yang anti sosial, dan pola hidup yang lebih materialis.
Pendidikan tinggi tak lagi menjadi kebanggaan dalam dirinya, karena pola kehidupannya tak jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat biasa. Banyak perempuan yang melakukan penghakiman kepada pilihan hidup perempuan lain. Layaknya masyarakat yang kurang teredukasi, mereka juga mudah percaya hoaks dan ujaran kebencian tanpa menelaah informasi berdasarkan data dan riset penelitian.
Bukan hanya itu, mereka bisa apatis terhadap permasalahan-permasalahan di lingkungan sekitar. Mereka sibuk mengomentari hal-hal personal dibanding permasalahan yang lebih substantif seperti kerusakan ekologi, ekploitasi manusia, dan lain sebagainya.
Dalam era kontemporer saat ini, peran perempuan bukan hanya berada di lingkup rumah, namun telah bebas untuk berkiprah kemana. Perempuan bisa berkontribusi di mana saja di ranah publik dengan berbagi tugas domestik bersama pasangannya. Karena beban ganda peran gender selayaknya ditanggung oleh suami istri, tak hanya dirasakan perempuan.
Dalam pasal 65 ayat 11 Undang-Undang nomor 12 tahun 2003 mengenai keterwakilan seluruh perempuan sekurang-kurangnya sekitar 30% yang berkecimpung dan berperan dalam bentuk nyata atau berperan dalam ranah politik. Ini tentu menjadi peluang bagi perempuan untuk menghasilkan kebijakan yang setara antara laki-laki dan perempuan, tak ada yang dirugikan.
Sebagai perempuan haruslah menjaga harga dirinya yang telah diperjuangkan oleh R.A Kartini selaku inspirator emansipasi perempuan, bukan malah mengembalikan seperti dulu lagi yang selalu dibatasi dalam konteks apapun. Indonesia sangat membutuhkan perempuan yang menjadi penggerak Indonesia maju. Jangan selalu berteriak emansipasi perempuan, tetapi tidak membuktikan bahwa dirinya bisa.
Bagi laki-laki, menyadari beban ganda rumah tangga yang dirasakan istri dan ikut memikul bersama adalah wujud lelaki sejati. Jangan berjalan di depan perempuan karena langkahmu bisa menghalangi tujuannya. Jangan berjalan di belakang perempuan karena kamu akan malu ketika tertinggal. Tapi berjalanlah seiring, bertumbuh bersama.
Ayo para perempuan! Tunjukkan dirimu bahwa yang diteriakkan itu benar bukan hanya ilusi belaka. “Indonesia maju dengan perempuan yang berilmu dan berperilaku”. Ayo para laki-laki! Tak perlu merasa rendah diri sampai menghalangi ketika ada yang bisa menyaingimu. “Indonesia maju dengan laki-laki yang inklusif dan berpikiran terbuka!”.
Penulis: Muhammad Qorib Hamdani
Peserta kompetisi “Lomba Menulis Artikel dengan Tema Strong Women” yang diadakan Haidiva.com dalam memperingati Hari Ibu.