081-2173-3281 redaksi@haidiva.com

Tokoh Perempuan NU di Awal Berdiri, Simak Kiprahnya

Tokoh Perempuan NU di Awal Berdiri, Simak Kiprahnya

Haidiva.com-Organisasi masyarakat keagamaan Nahdlatul Ulama melewati usia 1 abad pada 7 Februari kemarin. Di awal berdirinya NU, sejumlah perempuan juga ikut bergabung dan mewarnai organisasi tersebut.

Sejumlah gebrakan hadir saat sejumlah tokoh perempuan NU di awal berdiri aktif dalam pengambilan keputusan. Dikutip dari laman resmi NU, inilah sejumlah tokoh perempuan di awal berdirinya Nahdlatul Ulama.

Nyai R Djuaesih

Nyai R Djuaesih adalah salah satu tokoh perintis berdirinya Muslimat NU. Nyai Djuaesih ini merupakan perempuan pertama yang naik ke mimbar resmi organisasi NU, dalam Muktamar Ke-13 NU di Menes, Banten, pada 1938. Dalam forum tersebut, ia dengan tegas menyampaikan tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan. Ia juga menyerukan agar kaum perempuan harus bangkit menyuarakan keinginan perempuan.

“Di dalam agama Islam, bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan lain. Kaum wanita juga wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama. Karena itu, kaum wanita yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama mesti bangkit,” demikian seruan Nyai R Djuaesih di forum permusyawaratan tertinggi NU itu.

Baca juga: Perempuan tangguh di tengah sumpah pemuda

Persentuhan Nyai Djuaesih dengan NU muncul setelah menikah dengan Danuatmadja alias H Bustomi, seorang pengurus NU Jawa Barat. Saat suaminya mengorganisasi umat, ia merasa perlu ikut mengorganisasi para perempuannya agar bisa bersama-sama berdakwah.

Nyai Nur Chodijah

Nur Chodijah adalah adik dari tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH A Wahab Chasbullah (Mbah Wahab). Setelah menikah KH Bisri Syansuri, mereka mendiririkan pesantren khusus putri setelah mendirikan Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar.

Pendirian ini ditentang sejumlah pihak termasuk KH M Hasyim Asy’ari. Namun, melihat antusias para perempuan untuk belajar, tekad bulat Hj Chodijah tetap tak berubah. Kiai Hasyim lalu datang sendiri mengamati proses belajarnya dan akhirnya setuju.

Di bawah asuhan Hj Chodijah, santri putri ini diajari juga belajar kitab-kitab kuning seperti Adab al-Mar’ah, Uqudul Jain, kitab fikih Syafinatun Najah, dan Aqidatul Awam. Tak heran kemudian banyak para lulusan Mambaul Ma’arif menjadi tokoh agama di daerah masing-masing. Saat itu jarang sekali ada perempuan yang bercita-cita jadi pakar agama Islam.

Baca juga: Muslimah pemimpin politik masa kini

Nyai Mahmudah Mawardi

Nyai Mahmudah dikenal aktif dalam hal pendidikan dan politik. mengawali kiprah perjuangannya dengan menjadi guru di tempat belajarnya dahulu, Sunniyah, sejak tahun 1930. Bersama kaum perempuan Muslim di Solo, ia kemudian mendirikan organisasi Nahdlatoel Moeslimat (NDM) di Kauman Surakarta pada bulan April 1931.

Di bidang politik, ia dijuluki sebagai ‘politisi wanita besi brilian dari NU’. karir politiknya diawali sejak 1946 ketika menjadi anggota DPRD Kota Besar Surakarta dari golongan wanita. Pada saat yang sama ia juga duduk sebagai anggota BP KNPI mewakili Masyumi (waktu NU masih bergabung dengan Masyumi). Tahun 1952 duduk sebagai anggota Liga Muslimin Indonesia dari NU.

Tak hanya itu, Nyai Mahmudah juga ikut aktif membantu perjuangan bangsa Indonesia melalui Barisan Hizbullah di Surakarta (12 Oktober 1945-19 September 1947). Tugasnya kala itu, berada di garis belakang untuk membuka dapur umum, mengumpulkan obat-obatan, lauk-pauk dan menjadi kurir. Atas jasanya itu, ia mendapat tanda penghargaan Bintang Gerilya.

Nyai Khoiriyah Hasyim

Nyai Khoiriyah Hasyim, termasuk menjadi pelopor pendidikan pesantren putri pada masanya. Perempuan kelahiran tahun 1906 Masehi itu meski tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Putri dari pendiri NU ini juga aktif mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan bagi kaum perempuan.

Baca juga: Kisah ustadzah yang dobrak tradisi di Kenya

Nyai Khoiriyah fokus mandiri mengembangkan lembaga pendidikan yang dirintisnya serta membuat ciri khas pesantrennya dengan pembelajaran Ilmu Falak. Ilmu Falak kala itu memang menjadi pelajaran khusus dan jarang diajarkan di pesantren-pesantren lain, termasuk di Tebuireng. Hingga kini pun Pesantren Seblak dikenal dengan Pondok Pesantren Ilmu Falak.

Di usianya yang masih belia, bersama sang suami membangun madrasah rintisan khusus santri putri di Jombang, Jawa Timur. Tak hanya itu, ketika berkesempatan hidup di Makkah, Nyai Khoiriyah Hasyim juga mendirikan sekolah putri bernama madrasah lil banat.

Nyai Solichah Wahid

Ibu Gus Dur ini aktif mengajar santri putri di Pondok Pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar yang didirikan dan diasuh ayahnya. Pada masa perang melawan penjajahan Belanda, Nyai Sholihah juga terlibat dalam dapur umum untuk para pejuang di Jombang.

Di era Jepang, Nyai Sholihah turut aktif dalam organisasi perkumpulan perempuan bentukan Jepang yang dikenal dengan Fujinkai. Ia belajar beberapa hal di bidang kesenian, bahasa, dan obat-obatan untuk P3K. Keikutsertaan ini agar dapat menyerap ilmu dari Jepang dan kemudian ditularkan ke perempuan Nahdliyyin. Ia juga turut memprakarsai pendirian ranting-ranting Nahdlatul Oelama Muslimat (NOM).

Spread the love