Haidiva.com-Terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada karyawan sektor teknologi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Founder dan pekerja startup yang perusahaanya tutup akhirnya mencari peluang di bursa kerja. Mereka bersaing dengan tenaga kerja baru atau berpengalaman di perusahaan besar.
Penelitian yang dibuat Yale University, Amerika Serikat, menunjukan kondisi mantan pekerja dan founder startup. Riset itu diberi nama “Are Former Startup Founders Less Hireable?”. Hasilnya menunjukan para mantan pendiri usaha rintisan di sektor teknologi 43% lebih kecil berpeluang mendapat panggilan setelah melakukan wawancara kerja dibandingkan yang bukan berlatar belakang pendiri startup.
Survey itu melibatkan 2.400 responden. Hasil lain juga menunjukkan para mantan pendiri startup yang usahanya sukses rupanya punya peluang lebih kecil 33 persen untuk diundang wawancara kerja. Hal ini memperlihatkan kondisi yang bertolak belakang dengan kecenderungan sebagian besar perusahaan yang ingin mempekerjakan karyawan berjiwa wirausaha dan inovatif. Ketika dihadapkan dua kandidat yang mempunyai keahlian sama, perusahaan lebih memilih kandidat yang bukan berlatar belakang pendiri startup.
Meski hasil survei ini lebih menggambarkan kondisi dunia kerja di Amerika Serikat, namun pengamat kewirausahaan sosial Universitas Prasetiya Mulya, Dr. Rudy Handoko, berpendapat situasi serupa berpeluang terjadi di Indonesia.
Baca juga: Femtech Startup, usaha rintisan dari dan untuk perempuan
“Bukan hal aneh seorang founder startup masuk ke bursa kerja setelah bisnisnya gagal, atau pertumbuhan bisnisnya lambat,” kata Rudy lewat release yang dikirimkan Universitas Prasetya Mulya.
Stigma buruk pendiri startup
Problemnya, kata Rudy, ada semacam stigma pada para founder startup, atau mereka yang pernah berstatus sebagai chief executive officer, chief financial officer, chief marketing officer pada sebuah perusahaan startup. Mereka dianggap punya karakter arogan, merasa serba tahu, dan stigma negatif lainnya.
“Padahal perekrut membutuhkan karyawan yang humble, open minded, dan terbuka untuk belajar hal baru,” kata Rudy.
Pendapat Rudy itu juga tergambar pada hasil riset yang dibuat tim Yale University. Berdasarkan pengamatan para perekrut, mantan pendiri akan memiliki seperangkat keterampilan yang lebih luas, pola pikir berkembang, dan kecenderungan untuk berinovasi. Tetapi pengalaman sebagai founders perusahaan (terutama mereka yang pernah meraih sukses) mengindikasikan kandidat tersebut kurang cocok dan kurang berkomitmen dalam peran sebagai karyawan, sehingga perekrut meragukan kecocokan mereka sebagai karyawan.
Baca juga: Startup usaha sosial yang dirintis perempuan
Partners di Living Lab Ventures, Bayu Seto, menilai, sebetulnya para pendiri startup punya sejumlah kelebihan. Mereka adalah sosok generalis yang berpengetahuan luas, kritis dalam mencermati peluang bisnis yang berpotensi untuk diakuisisi. Mereka juga peka terhadap red flag yang berpotensi menjadi deal breaker.
“Hal ini mereka miliki berkat pengalaman di sisi manajemen maupun operasional perusahaan. Sehingga pengalaman mereka sebagai founder startup ini memberikan pandangan yang cukup matang dalam melakukan investasi,” ujarnya.
Namun ia juga menemukan, kebanyakan mantan founder startup tahap awal cenderung hyper-focus atas produk atau jasa yang sedang mereka bangun. Hal ini membuat mereka melupakan gambaran besar dari solusi yang sedang mereka coba hadirkan di market.
Risiko merekrut mantan founder startup
Menurut Bayu, pilihan merekrut mantan pendiri startup yang “pindah kuadran” menjadi seorang profesional memunculkan sejumlah risiko. Misalnya risiko kompatibilitas kultur di mana perusahaan-perusahaan konvensional memiliki kultur hierarki yang rigid. Sedangkan mereka menciptakan situasi kerja yang terbuka dan fleksibel. Karena itulah, perusahaan perlu mengubah situasi kerja bila ingin memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh para mantan pendiri.
Baca juga: Tips memilih tempat magang kerja
Group Head People Services XL Axiata, Mochamad Hira Kurnia berpengalaman merekrut sejumlah mantan pendiri startup. Ia menyatakan memang ada sejumlah hal yang perlu ditingkatkan dari kelompok tersebut, terutama dalam hal kemampuan menganalisis inovasi versus risiko dan kemampuan managing people, dan kecepatan proses beradaptasi dengan lingkungan.
Di sisi lain, kelompok ini juga memiliki potensi yang dapat dimaksimalkan perusahaan perekrut. “Misalnya kemampuan networking mereka serta kemampuan dalam mengelola segmen bisnis dalam skala tertentu.”
Untuk mengatasi stigma dan risiko memperkerjakan mantan founder startup, Rudy Handoko mengatakan ialah memperbaiki karakter saat menempuh pendidikan. Dunia pendidikan dapat menciptakan karakter pebisnis yang kuat. Kampus bisa menekankan proses dalam membentuk pebisnis atau professional sukses karena tidak ada yang instan.