Pasangan dokter spesialis kandungan, Sonny Fadli dan Zettira Maulida bertekad mengabdikan kemampuannya untuk membantu keselamatan bayi dan ibu melahirkan di pelbagai pelosok Indonesia. Setelah menikah dan menyandang gelar spesialis, mereka memilih Kepulauan Anambas sebagai perjalanan pertama. Cerita yang ditulis oleh Sonny-kemungkinan Zettira akan menulis juga—akan diterbitkan secara berkala.
Haidiva.com-Jauh sebelum terjadi pandemic di Indonesia, sektor kesehatan dipandang sebelah mata. Alasannya, pesta demokrasi seperti Pemilu, Pilpres, dan Pilkada membuat topik politik lebih asyik diperbincangkan.
Para politikus sibuk membangun citra, menyusun janji-janji, kemudian berpura-pura lupa setelah kemenangan politik sudah diraih. Saking mendewakan politik, di tengah pandemi COVID-19 pun, isu kursi presiden 2024 sudah berseliweran di media massa. Inilah yang saya sebut dengan sampah reformasi.
Kini, setelah COVID-19 menjangkiti dunia, semakin banyak manusia yang sadar bahwa kesehatan itu penting. Meski tetap saja ada oknum manusia yang menganggap remeh persoalan ini.
Baca juga: Bagian pertama tulisan Sonny dan Zettira tentang Pulau Anambas
Kesehatan di mata politisi adalah pengobatan gratis atau dalam bahasa kampanye diimplementasikan dengan kartu A, kartu B, kartu C. Namun dalam aktivitas faktual pembangunan kesehatan di lapangan masyarakat masih jauh dari harapan.
Kami masih ingat perdebatan dua tokoh politik tentang pembangunan Indonesia baik itu inftrastruktur dan manusia mestinya dari pulau terluar menuju ke dalam kota. Salah satu pembicara menyebutkan pulau terluar merupakan wajah Indonesia sebagaimana mestinya. Di sinilah seharusnya Indonesia dibangun.
Setelah sembilan tahun berlalu usai perdebatan kedua tokoh politik tersebut, kami mendapat kesempatan untuk mengenal Papua atau dulu disebut dengan Irian (Ikut Republik Indonesia Anti Nederland).
Baca juga: Ini yang terjadi di perut ibu saat melahirkan
Betapa, banyak catatan yang kami bawa pulang tentang sulitnya hidup sebagai masyarakat Papua yang tinggal di pedalaman yang tiada henti konflik keamanan. Kesulitan dari berbagai bidang kehidupan terjadi, baik ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan yang tidak seindah ungkapan janji politikus.
Masalah obstetri dan ginekologi menjadi PR besar yang masih tersisa di pedalaman Papua maupun perbatasan Indonesia yang lain. Perempuan hamil di daerah tertinggal acapkali terlambat ditangani karena ketiadaan sarana prasarana, dan berujung hingga meninggal dunia.
Pertemuan kami dengan seorang pasien berinisial LM, perempuan asli NTT yang ikut suaminya tinggal di Kabupaten Mamberamo Raya, Papua. LM sangat malang karena sakitnya datang pada situasi yang tidak tepat dan ketidaktahuan meminta pertolongan dini.
LM datang pada hari sabtu malam, pukul 20.00, dengan keluhan nyeri perut hingga pingsan sejak siang. Ia tidak segera dibawa ke Rumah Sakit. Saat tiba tekanan darah pasien sudah turun, nadi cepat, pasien sudah tidak sadarkan diri.
Baca juga: Kisah pabrik bayi di beberapa negara
Kami lakukan heteroanemnesa, pemeriksaan fisik secara umum, pemeriksaan dalam, beta HCG dan Hb sahli. Ada alat USG di RS setempat namun kami tidak bisa mengoperasikan karena masalah infrastruktur. Diagnosis kami mengarah pada kondisi kehamilan ektopik dengan kadar hemoglobin 6.
Tindakan stabilisasi dan merujuk tidak mungkin dilakukan karena malam hari, tiada pesawat dan jadwal penerbangan. Pasien mestinya selamat bila ada kamar operasi dan juga dokter spesialis kandungan. Sayangnya, ia meninggal 10 jam dari setelah tiba. Masalah transportasi, tidak ada dokter kandungan, masalah tidak ada kamar operasi saat itu menjadi tantangan besar di kabupaten Mamberamo Raya, Papua. Kini, sudah ada dokter spesialis kandungan di sana, semoga banyak masyarakat bisa tertolong.
Topografi daerah perbatasan di Indonesia sangatlah sukar. Contohnya Papua, daratan sangat luas, pasien bisa saja terjadi kegawatan di tengah hutan. Kami perlu membawa pasien lewat jalur sungai membelah hutan. Sudah sampai ke Rumah Sakit belum tentu bisa tertolong karena tenaga kesehatan ahli dan sarana prasarana tidak ada.
Baca juga: Bayi perempuan lahir setelah embrionya dibekukan 27 tahun
Bila mendadak ada pasien pascasalin di suatu Puskesmas di Papua, ia sulit dirujuk ke Rumah Sakit yang tidak ada dokter kandungan dan tidak ada kamar operasi. Pasien akan sangat terlambat mendapat penanganan, tak sdikit yang meninggal dunia.
Bila mendadak ada ibu hamil sudah cukup bulan datang ke Rumah sakit, dilakukan pemeriksaan ternyata gerak janin sudah mulai menurun, detak jantung bayi sudah menandakan janin stress, 30 menit lagi sang bayi harus dikeluarkan dari rahim sang ibu. Sering kali ia tak mendapat sarana kamar operasi dan tenaga pendukung lainnya.
Kisah ini tak hanya terjadi di Papua, melainkan di daerah Indonesia lain, terutama yang terpencil, memiliki medan sulit, pelayanan masih sangat minimalis. Kami yang dokter di wilayah terpencil seperti istilah Surabaya, bondo nekat (bonek) saat memberikan pelayanan.
Ketimpangan sarana prasarana, minim tenaga kesehatan ahli, ditambah medan yang sulit, Indonesia berpotensi jauh dari pemenuhan target SDGs dalam upaya menurunkan angka kematian ibu pada angka 70 per 100.000 kelahiran hidup di 2030. Masalah ini sepaket dengan persoalan angka kematian bayi.
Baca juga: Nikah muda lebih rentan kanker serviks
Apalagi sekarang, ada pandemi COVID-19. Kami yakin beberapa tahun ke depan, pandemi masih tetap berjalan. COVID-19 akan menambah berat beban pelayanan obstetri dan ginekologi di daerah pedalaman atau perbatasan. Untuk itu upaya pembenahan pelayanan kesehatan terutama pelayanan ibu dan anak harus mendapat perhatian khusus.
Terkadang kita lebih menyukai pembangunan infrasruktur yang fantastis, membangun gedung pencakar langit, tapi hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan bayi di pandang sebelah mata. Cita-cita untuk menarget zero maternal mortality, dan zero neonatal morbidity tidak diimbangi dengan upaya yang pantas.
Kita patut merenungi sebuah pesan Mahmoud F. Fathalla, President of the International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO), World Congress, Copenhagen, 1997, “Woman are not dying because of a disease we can not treat. They are dying because societies have yet to make decision that their lives are worth.” Lingkungan, termasuk kita sendiri lah yang menganggap hidup mereka, para perempuan, kurang berarti.
Itulah mengapa guru-guru kami selalu mengulang pesan kepada kami, saat sebagai residen Obstetri dan Ginekologi di Universitas Airlangga, “No woman should die while giving a life”. Tidak seharusnya kita biarkan ibu hamil dari Sabang hingga Merauke, Miangas hingga Rote , meninggal karena kehamilan dan persalinannya.
Mari ingat kembali sebuah ungkapan masyhur bahwa perempuan adalah tiang negara. Ini tidak berlebihan. Dari rahim sang ibu kualitas janin di program, kualitas generasi ditentukan. Bila kita ingin melahirkan generasi emas, mau tidak mau pelayanan obstetri dan ginekologi harus menjadi utama di atas pelayanan lain.
Baca juga: Bahaya pernikahan anak
Hong Zhou dan kawan-kawan melakukan penelitian terhadap anak-anak yang ibunya meninggal sejak lahir. Mereka lebih mudah terkena malnutrisi atau stunting. Di usia sekolah, mereka lebih banyak drop out bila di bandingkan anak-anak yang dibesarkan ibu kandung.
Dengan kata lain, peningkatan sumber daya manusia memang betul di pundak sang ibu hamil. Keberhasilan melahirkan SDM unggul ditentukan dari ibu dan bayi saat 1000 hari pertama kehidupan. Apapun yang menyangkut faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian ibu dan bayi, khususnya di daerah perbatasan dan kepulauan, harus menjadi perhatian serius dan dipecahkan. Tidak ada alasan untuk melihat saja atau menunggu.
Bila perbaikan pelayanan obstetri dan ginekologi kita lakukan, generasi emas akan terlahir. Mereka kelak bisa tumbuh lebih baik dari kita sekarang. Mereka tidak akan menjadi penonton. Mereka bisa mengolah kekayaan alam sendiri, mulai gunung emas, migas, pulau-pulau eksotis, kekayaan laut, dan semua yang terkandung di bumi ibu pertiwi.
Oleh dr. Sonny Fadli, M. Ked. Klin., SpOG dan dr. Zettira Maulida Prasha, M. Ked. Klin., SpOG / Dokter Spesialis Kandungan (Almuni Unair)
Hamil Di Usia Tua, Ini yang Perlu Dilakukan
Juni 24, 2022 at 12:56 pm[…] Baca juga: Kesehatan ibu dan bayi, hulu pembangunan SDM […]
Versi RSUD Jombang dan Keluarga tentang Bayi Meninggal Terjepit
Agustus 2, 2022 at 2:06 pm[…] Baca juga: Kesehatan ibu dan bayi, hulu pembangunan SDM […]