081-2173-3281 redaksi@haidiva.com

Jouhatsu di Jepang, Fenomena Menghilang dari Kehidupan

Jouhatsu di Jepang, Fenomena Menghilang dari Kehidupan

Haidiva.com-Jouhatsu, fenomena di Jepang tentang orang-orang menghilang dari kehidupan tanpa jejak. Ini bukanlah bunuh diri tetapi pergi meninggalkan kerabat dan aktivitas sehari-hari tanpa ada yang mengetahui. Tekanan sosial yang menyebabkan orang Jepang melakukan hal tersebut.

Diambil dari berbagai sumber, jouhatsu arti harfiahnya adalah penguapan. Johatsu mengacu pada orang-orang di Jepang yang dengan sengaja menghilang dari kehidupan mapan mereka tanpa jejak. Fenomena ini terjadi tidak hanya di Jepang tapi berbagai negara lai seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman.

Jouhatsu mulai terjadi di Jepang sejak tahun 1960-an. Tuntutan pekerjaan dan kelas sosial, ditambah dengan minimnya dukungan keluarga dan masyarakat telah berkontribusi pada prevalensi jouhatsu di Jepang. Lebih jauh lagi, berhenti dari pekerjaan atau mempunyai upah minim dianggap memalukan dalam budaya Jepang.

Dampak hal tersebut adalah bunuh diri, bekerja sampai mati, dan menjadi jouhatsu. Apalagi saat menghilang, biaya yang dikeluarkan keluarga lebih rendah bila dibandingkan bunuh diri. Keluarga dari orang yang melakukan bunuh diri perlu membayar pembersihan, utang orang tersebut, dan biaya layanan lain. Sedangkan johatsu tidak.

Baca juga: Fenomena kodokushi di Jepang, meninggal dalam kesendirian

Di Jepang, topik jouhatsu adalah hal yang tabu dalam percakapan biasa, seperti topik bunuh diri. Diperkirakan 100.000 orang Jepang menghilang setiap tahun namun angka ini hanya fenomena gunung es. Asosiasi Dukungan Pencarian Orang Hilang Jepang, sebuah organisasi nirlaba yang didedikasikan untuk mendukung keluarga jouhatsu, memperkirakan ratusan ribu orang hilang setiap tahun.

Pada tahun 2015, Badan Kepolisian Nasional Jepang telah mendaftarkan 82.000 orang hilang, dan 80.000 ditemukan pada akhir tahun. Sebagai perbandingan, pada tahun yang sama, Inggris memiliki 300.000 panggilan untuk melaporkan orang hilang, meskipun memiliki sekitar setengah dari populasi Jepang.

Selain itu, database orang hilang tidak ada di Jepang dan mereka masih bisa menggunakan atmnya sendiri tanpa khawatir ditracking. Mereka juga bisa menyewa tempat tinggal tanpa harus menunjukkan kartu identitas penduduk. Alhasil, menjalani hidup baru relatif lebih mudah.

Dampak budaya patriarki dan toxic masculinity

Orang memilih jouhatsu karena sejumlah alasan, termasuk depresi, kecanduan, ketidakpantasan seksual, dan keinginan untuk terisolasi. Penyebabnya budaya patriarki dan toxic maskulinity.

Baca juga: Awas suicide contagion, tindakan bunuh diri bisa menular

Laki-laki di sana dituntut untuk sukses dalam pekerjaan dan lebih berpenghasilan dari pada pasangannya. Ketika hal itu tak terjadi, mereka merasa malu dan banyak memilih menghilang. beberapa kasus, menjadi jouhatsu adalah cara untuk memulai awal yang baru. Ketika mereka menghilang, mereka dapat meninggalkan tempat tinggal, pekerjaan, keluarga, nama, dan bahkan penampilan mereka sebelumnya.

Sedangkan kebanyakan perempuan yang melakukan jouhatsu adalah korban KDRT. Laki-laki yang stres dengan pekerjaan dan tuntutan sosial, kerap kali melampiaskan emosinya dengan malakukan kekerasan dalam rumah tangga. Para istri di sana dituntut menerima perlakuan ini sebagai upaya menjaga keutuhan rumah tangga.

Bila rumah tangga rusak dan bercerai, masyarakat Jepang menyalahkan perempuannya karena dianggap gagal meski penyebabnya karena kekerasan. Karena itulah, mereka memilih menghilang daripada melanjutkan pernikahan atau bercerai.**

Spread the love