081-2173-3281 redaksi@haidiva.com

Hari Ibu, Topik Kongres Perempuan yang Masih Relevan

Hari Ibu, Topik Kongres Perempuan yang Masih Relevan

Haidiva.com-Hari ibu di Indonesia bukanlah Mother’s Day seperti di negara barat melainkan mengacu pada sejarah Kongres Perempuan Indonesia I yang digelar pada 22 Desember 1928. Hari Ibu di Indonesia adalah titik tolok perjuangan para ibu memperbaiki nasib. Para perempuan dari organisasi kewanitaan dari seluruh Indonesia berkumpul membahas topik yang berkaitan dengan kesetaraan dan perlindungan hak.

Nyatanya, topik-topik yang  dibahas di Kongres Perempuan I masih relevan hingga sekarang. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut isu yang sempat mewarnai pemikiran para ibu di saat itu.

Pendidikan dan Sekolah untuk Perempuan

(Unicef)

Kongres itu, tulis Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia,  menuntut pemerintah kolonial untuk meningkatkan jumlah sekolah untuk anak perempuan. Perempuan di era pra-kemerdekaan jarang yang bersekolah karena dianggap tugasnya hanya berada di rumah. Karena itulah, sekolah lebih diutamakan untuk anak laki-laki.

Baca juga: Hari Ibu dan Konstruksi Domestifikasi Perempuan

Saat ini, setiap anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dasar. Tetapi, kata Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan, Keluarga, dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Rohika Kurniadi Sari mengatakan  masih banyak keluarga yang beranggapan perempuan tak boleh mengejar pendidikan lebih tinggi dibanding laki-laki.

Perkawinan Anak

Syekh Puji menikahi Lutviana Ulfa yang berusia 12 tahun

Dikutip dari Tirto.id, ada bahasan mengenai perkawinan anak yang disampaikan oleh Moega Roemah di hari kedua kongres tersebut. Perkawinan anak sering dialami perempuan belia di bawah umur padahal itu berbahaya bagi kesehatan. Para perempuan di Kongres tersebut menentang perkawinan tersebut.

Di masa sekarang, perkawinan anak memang dianjurkan untuk dihindari dengan peningkatan batas usia pengantin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Namun, hal ini ternyata tak mengurangi jumah pengantin anak secara signifikan. Padahal, anak perempuan yang menikah berisiko kematian ibu yang tinggi, akses pendidikan lebih tinggi, hingga kesehatan mental karena belum siap mengasuh anak. Dikutip dari VOA, data Dana Kependudukan PBB menyebutkan Indonesia menempati urutan 8 perkawinan anak terbesar di dunia.

Baca juga: Pernikahan Anak Rentan Kanker Serviks

Poligami

Pada Kongres Perempuan I, terjadi perdebatan pro-kontra mengenai poligini atau poligami dengan memadu perempuan. Perdebatan terjadi antara Sitti Moendjijah dari Aisyiah, organisasi perempuan Muhammadiyah, yang membela poligami. Pidato Moendjijah langsung disanggah oleh Siti Soendari yang menganggap poligami menyebabkan perempuan berada pada posisi yang lemah.

Dilansir dari Historia, panasnya suasana kongres membuat Nyonya Siti Zahra Goenawan, perwakilan Roekoen Wanodijo, berinisiatif melerai. Upaya perempuan yang datang dari Weltevreden (Jakarta) itu berhasil dengan tak dilanjutkannya perdebatan tentang poligami dan hak-hak perkawinan.  

Belakangan, Aisyiah masa kini menganjurkan pernikahan monogami meskipun tak terang-terangan menolak poligami. Dikutip dari Aisyiah.or.id, organisasi ini  tidak menganjurkan poligami tetapi bagaimana mendorong terwujudnya keluarga sakinah yang saling memuliakan antara suami dan isteri.

Spread the love

One thought on “Hari Ibu, Topik Kongres Perempuan yang Masih Relevan

  1. Hari Ibu, Komitmen Capres-Cawapres terhadap Isu Perempuan
    Desember 22, 2023 at 12:12 pm

    […] Baca juga: Hari ibu topik kongres perempuan yang masih relevan sampai sekarang […]

Comments are closed.