081-2173-3281 redaksi@haidiva.com

Elegi Payung Hitam di Tanah Makam

Elegi Payung Hitam di Tanah Makam

Selamat berpisah, Kawan!

Haidiva.com-Weker di atas nakas berbunyi sendiri tanpa gubris dari sang pemilik. Hanya sedikit kernyit yang muncul di wajah lelah Indah. Tampaknya, raga Indah masih tak ingin beranjak dari posisi nyamannya setelah jam tidur yang dirasa sangat singkat. Dalam beberapa menit, cahaya matahari pagi mulai menerobos masuk celah ventilasi dan menyilaukan mata Indah. Gangguan alam yang kali ini berhasil. Kernyit di wajah lesu Indah mulai tampak makin jelas.

Indah mengerjap kesal dan melihat sekeliling dengan linglung. Matanya terpaku pada telepon genggamnya yang berkedip-kedip tanpa henti. Diraih dan dibukanya notifikasi yang tak biasanya sangat berisik sepagi ini. Berbagai kata perlahan muncul di fokus matanya. Berduka. Kecelakaan. Riqy. Jenazah. Makam.

Indah menguap. Kesadarannya masih berusaha mencerna isi berita grup obrolan kantor yang riuh. Benak Indah masih bertanya sanak keluarga Mas Riqy manakah yang meninggal. Logika Indah mulai terganggu saat banyak menangkap simbol tangisan di banyak percakapan grup. Ibu jari Indah menghentikan gerakannya di atas layar. Fokus indah terpaku membaca lekat ucapan belasungkawa. Riqy. Riqy. Riqy.

Baca juga: ode dini hari Tante Jean

“Innalillahi! Mas Riqy!” Indah terkesiap. Sadarnya sempurna. Waktu seolah terhenti sejenak dengan keterkejutan Indah.

Perlahan pikiran Indah mulai kembali ke tempatnya. Indah sibuk mengotak-atik perangkat pintarnya. Beberapa sambungan telepon ia tempuh sebelum Indah berpacu mempersiapkan diri. Dikenakannya kemeja baloteli putih berbalut sweater hitam. Bibirnya mengucap doa keselamatan lalu dengan cukup tergesa ia lajukan motor klasiknya ke atas aspal menuju ke titik pertemuan.

Diusahakannya untuk tetap fokus mengawasi sekeliling di tengah kilatan kenangan bersama almarhum yang terus menerus muncul di benaknya. Konsentrasinya yang sudah tipis nyaris lenyap karena mendung yang perlahan menggelayut. Sendu semakin membiru menyelimuti sisa perjalanan Indah ke lokasi pemakaman.

Tampak olehnya kerumunan pelayat di pintu masuk makam. Matanya sibuk mencari rekan-rekan kantornya selepas ia menemukan tempat parkir terdekat. Disibaknya perlahan kerumuman pelayat menuju wajah-wajah familiar berada. Indah menemukan pundak Roy dan Nina di depannya. Ia tepuk perlahan pundak mereka. Ditemukannya wajah-wajah sendu dan rasa tak percaya yang sama di raut wajah mereka.

“Kecelakaan dini hari tadi. Dia dalam perjalanan pulang ke rumah,” jawab Roy seolah membaca jelas pertanyaan-pertanyaan yang tak terucap dari bibir Indah.

“Tunggal, In. Kata orang rem blong,” tukas Nina melengkapi. Indah menatap nanar ke arah keranda hijau beberapa meter di depannya. Perempuan paruh baya dengan mata luar biasa sembab menatap ke arah keranda sembari memeluk erat sepasang batu nisan. Disampingnya berdiri juga laki-laki paruh baya yang kontinu mengusap dada sembari ikut menatap sendu ke arah keranda.

Gerimis turun tepat saat galian tanah makam mulai dicangkul kembali ke dalam lubang menyelimuti jasad Riqy. Beberapa payung hitam pun mulai mengembang di lokasi pemakaman. Aroma tanah basah yang menguar seolah memeluk hati-hati yang pilu. Terketuk kembali titik-titik ketegaran dan pintu-pintu keikhlasan seiring kelopak bunga yang berjatuhan di atas gundukan tanah. Doa dipanjatkan bersama dengan sayup isak tangis yang mulai mereda di balik hujan.

Kaki-kaki perlahan melangkah pamit. Deretan payung hitam bergerak seperti mendung berarak. Keramaian memudar. Makam-makam bergeming. Sepi.

Kontributor Haidiva:  Dian Lestari Wilianingtyas, (masih) Cungpret.

Spread the love